Hari ini cukup menjadi hari yang melelahkan untuk saya. Bukan lelah dalam arti lelah fisik, tapi entah kenapa jiwa saya merasa lelah hari ini.
Hari ini berlangsung acara sekolah. Yaitu peringatan tiga hari besar nasional, yaitu hari kartini, hari pendidikan nasional, dan hari kebangkitan nasional. Dan dalam acara ini diadakan beberapa lomba untuk memeriahkan acara. Salah satunya mading (majalah dinding).
Sebagai anak mading, saya pun mengikuti lomba tersebut sebagai perwakilan dari kelas saya. Satu tim berjumlah tiga orang. Pada jam sembilan, saya dan kedua teman saya mulai mengkuti lomba mading yang berlangsung. Panitia menyediakan waktu dua jam, dan dalam waktu dua jam, semua harus sudah selesai dan harus dipresentasikan.
Saat lomba, tangan saya terasa dingin, dan jantung saya terasa berdegup lebih kencang dari biasanya. Mungkin untuk peserta-peserta lainnya merasa biasa saja, tapi tidak dengan saya. Saya memang orang yang seperti itu, gampang panik dengan sesuatu yang terasa khusus. Apalagi saya tipe orang yang sangat demam dengan bertemu khalayak ramai.
Teman satu tim saya, Wulan, sudah berjanji akan presentasi di depan juri. Namun ketika mading kami sudah selesai, ia bilang bahwa ia tidak bisa mempresentasikannya. Seketika itu saya langsung panik. Saya sangat takut bertemu dengan khalayak ramai, apalagi juri dan ditonton oleh segenap orang, saya sungguh takut. Saya bilang ke teman saya yang satu lagi, bahwa dia saja yang presentasi, tapi dengan santai dia menjawab “Nggak.”
Jantung saya mulai berpacu dengan menggila ketika kelompok saya sebentar lagi akan maju. Nomor urut satu sudah selesai presentasi, sedangkan tim saya nomor urut tiga.
Dengan berat hati dan segenap mental yang ada, saya mencoba membranikan diri untuk presentasi.
Ketika nomor urut tiga dipanggil, kami maju membawa mading hasil kami. Lalu ditunjukan ke depan juri, dan saya disodorkan mic. Saya mulai berbicara.
Seselesainya presentasi, saya memang merasa plong. Tapi masih ada yang mengganjal. Saya kembali ke tempat khusus untuk tim saya. Dan dengan ditutupi mading yang berdiri tegak, saya menangis dibaliknya. Saya menundukkan kepala. Saya merasa bodoh pada diri sendiri! Bodoh karena grogi, bodoh karena pengecut, bodoh karena penakut, dan segala bodoh-bodoh lainnya yang saya salahkan pada diri saya sendiri. Mungkin, untuk lain kali, setelah melakukan hal yang berhadapan dengan khalayak ramai, saya akan menangis sesudahnya.
Hari masih berlanjut, menumpukkan segala beban-beban yang terus berdatangan. Saya juga mengikuti lomba film dokumenter, dan panitia bilang bahwa video yang saya kumpul tidak ada di CD yang saya kasih ke dia. Saya langsung terdiam. Ada apa lagi ini? Namun panitia memberi kesempatan bahwa film dokumenternya dikumpul terakhir besok kamis, 07/05/15.
Sungguh, saya sudah lelah hari itu. Dengan mading yang membuat saya terlihat bodoh, film dokumenter yang kembali bermasalah, dan sore harinya saya benar-benar merasa bahwa saya adalah orang yang sial.
Di mana ada saya, di situ pasti kalah. Ya, itulah yang terjadi. Mading hasil karya tim saya tidak menang. Mungkin itu karena kesalahan saya juga yang presentasi dengan suara bergetar.
Saya pulang dijemput oleh orang tua saya. Di sepanjang jalan, saya menikmati angin yang menerpa, dan saya memejamkan mata. Warna merah seketika memblok bayang-bayang mata saya, dan kadang berganti warna hitam saat bayangan menutupi saya dari sinar matahari. Juga, saya berpikir kembali apa yang sudah terjadi hari ini. Kembali saya mengutuk diri saya sendiri, di mana ada saya, di situ pasti kalah. Dan keluarlah setetes airmata dari sepasang mata saya.
Maafkan saya, teman-teman. Saya sudah berusaha semampu, sekuat, dan seadanya mental yang saya punya. Namun saya juga manusia. Dan untuk film dokumenter, dan lomba-lomba yang akan diadakan selanjutnya, saya menyerah. Terimakasih:)
Semua tidak salahmu. Kalah menang itu biasa. Strong teman
BalasHapus