Selasa, 19 Mei 2015

[Cermin] TIME

Aku mau post sebuah cerita mini (cermin) yang kemarin nggak lolos lomba. Dari ketiga naskah, hanya ini yang nggak lolos.
Happy Reading :)
***


"Astaga. Semoga Tuhan menerima di sisi-Nya.”

“Siapa yang meninggal, Mom?” tanyaku saat aku mendengar Mom mengucapkan kalimat yang baru keluar dari mulutnya.

Mom langsung menutup telfon dan menatapku dengan ekspresi terkejut.

“Mom?” tegurku, karena Mom tidak menjawab-jawab dan hanya terdiam.

“Masha, kau harus bersabar, nak. Teman kecilmu, Fando, meninggal.”

Butuh waktu lama untukku memahami informasi dari Mom. Aku mengulang ucapan Mom berkali-kali, Fando.. Meninggal. Dan saat aku otakku sudah mulai paham, kepalaku terasa berputar berkali-kali, dadaku terasa sesak. Dan semuanya gelap.
***

Angin musim dingin menerpaku. Kakiku melaju ke depan dengan perlahan dan tanganku berpegangan pada sisi-sisi jembatan di atas sungai Thames. Mom menyuruhku untuk pergi ke luar. Katanya, aku sudah dua hari tidak keluar rumah sejak kematian Fando. Sungguh aku tak sadar akan hal itu.

Fando, dia teman kecil yang sangat baik. Aku mengenalnya saat orangtuanya mengunjungi rumahku. Sewaktu kecil aku tak mempunyai teman untuk diajak bermain. Aku tak mempunyai teman untukku ajak bercanda-ria. Namun Fando sering mengunjungi rumahku bersama orang tuanya. Membuat masa kecilku lebih berwarna.

Entah kenapa aku memilih pergi ke tempat ini. Ke menara Big Ben. Dan aku menyesali perbuatanku. “Bodoh! Harusnya aku tak ke tempat ini. Karena aku akan mengingat Fando lagi,” ucapku dalam hati.

Hiruk-pikuk yang ramai menarik perhatianku. Berharap kesedihanku bisa hilang dengan melihat orang berlalu-lalang dan para wisatawan yang menunjukkan wajah riang. Tapi beberapa detik kemudian hatiku luluh. Aku mengingat kenangan saat kami berkunjung ke tempat ini pada saat berumur tujuh tahun.

“Masha! Berhenti,” jerit Fando sambil mengejarku.

Sedangkan aku terus berlari, berputar-putar di antara orang-orang yang berlalu lalang, tak ingin Fando menangkapku.

“Aku punya gelembung,” katanya lagi. Membuat aku berhenti. Aku sangat menyukai gelembung waktu itu.

“Mana?” tanyaku saat Fando berhasil dekat denganku. Ia menggenggam tanganku.

“Tertangkap!” ujarnya girang.

“Kamu bohong.” aku memberengut.

“Jangan marah, Masha. Aku janji, aku akan memberimu gelembung yang banyak saat ditiup di rumah nanti.”

“Aku maunya di tempat ini.”

“Oke-oke, aku akan membawamu ke tempat ini lagi dan memberimu gelembung.”

Dan janji tinggalah janji. Fando menyiratkan janjinya tanpa menepatinya hingga ia meninggalkan dunia.

Wajah Fando yang sekarangpun aku tak tahu bagaimana. Aku hanya mengingat saat terakhir kali bertemu dengannya saat kami berumur delapan tahun. Sejak itu Fando tak pernah terlihat lagi.

Kira-kira bagaimana, ya, rupanya? Apa dia lebih tampan? Apa tubuhnya masih kurus seperti dulu?

Lonceng jam menara Big Ben berbunyi. Membuat kepalaku menoleh ke sumber suara. Diikuti tubuhku yang menghadap ke menara. Dan mataku menatap jam besar yang melekat di bangunan itu.

Jam itu tak pernah berhenti bedetak. Waktu tak pernah berhenti berjalan. Tak bisa berhenti. Apalagi kembali ke masa lalu yang sudah tertumpuk-tumpuk oleh waktu lainnya yang begitu banyak. Tak mungkin aku bisa memutar jarum jam itu dan kembali ke beberapa tahun silam.

Tapi satu yang ku tahu, waktu tak pernah bisa kembali karena waktu punya cara sendiri untuk mengubur masa pahit yang menghampiri dan menyembuhkan hati yang luka.

Jarum jam, teruslah berputar, sebanyak yang kaumau.

END

2 komentar: