Rabu, 06 April 2016

[CERPEN] Pasar Malam

Keramaian penuh sesak, permainan hiburan yang terus melaju ketika yang ingin dihibur menaiki, lesehan orang-orang berjualan, semua itu tampak hina di mata Widoyo. Teriakan-teriakan rayuan gombal para penjual membuat matanya mendelik, sedangkan suara motor gestrek memekakkan telinga hingga terasa ingin menangkupkan sepasang tangan di kedua telinganya itu. Ia kesumat! ia benci pasar malam.
            Lebih dari sekali Widoyo bersumpah serapah dalam hati. Jika saja bukan karena anaknya yang mengajak ke tempat ini, ia tak akan sudi menginjakkan kaki di tanah yang dipakai untuk bermain sepak bola dan disulap menjadi tempat hiburan dalam satu malam. Mendengar namanya saja sudah membuat imajinasi Widoyo memburuk.
            “Nak, Tira, kita pulang saja, ya? Kalau kita pulang ke Jakarta, kita bisa naik hiburan yang lebih bagus dari tempat ini,” bujuk Widoyo kepada Tira.
            Tira langsung menjawab, “Nggak mau, Yah. Tira mau lihat hiburan versi pedalaman.”
            Ah.. ini membuat Widoyo semakin muak. Berkunjung ke  sebuah Kabupaten di Lampung dan bertepatan dengan diadakannya pasar malam. Pasar malam ini layaknya tumpukan ayam mati. Menjijikan.
            “Ayah.. Ayah,” panggil Tira seraya mengayunkan tangan Widoyo yang menggenggamnya.  “Minta uang.”
            “Untuk apa, Nak?”
            “Untuk beli karcis.”
            “Memangnya Tira mau naik permainan yang mana?” Widoyo mulai gelisah. “Kita lihat-lihat saja, ya. Jangan menaiki permainan-permainan di sini. Komidi putar, bianglala, semua permainan itu lebih seru di Jakarta.”
            “Ayah, Tira beli karcis bukan untuk Tira sendiri, tapi untuk anak-anak itu.” Tira menunjuk ke suatu arah. Widoyo mengikuti arah tangan Tira dan melihat seorang anak laki dan anak perempuan sedang di hadang sang penarik karcis. Wajah mereka menunjukkan keantusiasan, namun dalam sekejap berganti kesedihan setelah kebahagiaan menjarak dari mereka.
            Widoyo tertegun. Sepasang matanya berganti-gantian menatap anak kesayangannya dan kedua anak malang itu.
Anaknya saja, yang duduk di bangku akhir sekolah dasar, sudah memiliki rasa simpati bagi orang di bawahnya. Bagaimana dengan dua puluh dua tahun silam, saat seorang anak kecil berumur delapan tahun berdiri layaknya orang bodoh. Pakaiannya lusuh—baju sudah menggelosor karena terlalu sering dipakai, sedangkan celana telah terdapat banyak tambalan. Anak kecil itu berjalan dari satu permainan ke permainan lainnya. Dari komidi putar, ia turut bahagia melihat permainan itu tampak asyik ketika dinaiki oleh orang-orang. Namun dalam hatinya, seperti ada yang menggedor-gedor saat ia sadar ia tak bisa menaiki permainan itu. Berlanjut ke kereta-keretaan, bianglala, tong setan, kemudian kembali ke komidi putar lagi. Semuanya hanya ia lihat. Hanya dilihat saja.
Sebenarnya ia juga ingin merasakan kesan menaiki permainan  yang serupa dengan sangkar burung, bianglala. Merasakan angin yang menggesek kulitnya ketika permainan berlangsung, kemudian memperoleh pemandangan dari pucuk teratas.
Namun, sudah jelas, bukan, masalahnya? Bahwa anak itu tidak punya uang sedikit pun untuk membeli karcis.
Keesokan harinya, sang anak kecil memberanikan diri untuk menyelinap di salah satu penumpang saat akan menaiki salah satu permainan. Namun, rencana nodanya terbaca oleh tukang penarik karcis. Ia ditarik dan dipaksa untuk meninggalkan permainan sebelum membawa karcis yang harusnya ia beli. Tak jadilah ia menikmati salah satu permainan di pasar malam.
Anak kecil itu tak kehilangan akal. Keesokan harinya lagi, ia mencoba mencari akal agar bisa menaiki salah satu permainan yang ada di pasar malam. Dan ia mencari uang dengan membantu tetangganya bekerja, lalu diberi upah sejumlah uang. Tetapi, upah itu masih saja tidak cukup untuk menaiki satu permainan. Akhirnya, sebuah ide terlintas di pikirannya: menjual satu mie dan seplastik kecil beras kepada tetangga. Saat langit menggelap, bahagialah anak kecil itu, tak sabar untuk menaiki permainan yang tersedia. Ia mengenakan baju yang agak bagus, walaupun sedikit, walaupun jika dibandingkan dengan anak miskin lainnya masih tak sepadan.
Dan malam itu, mungkin malam terbahagia untuknya.

ɛɜ

Uang habis, kebahagiaan sesaat pun langis. Angan-angan merdu mengenai malam sebelumnya kembali menagih. Sang anak kecil mencoba kembali cara kotornya dengan menyelip di antara penumpang lainnya. Namun, kembali ketahuan. Ia mencoba lagi di permainan lainnya, dan kembali ketahuan. Begitu seterusnya, hingga sang penarik karcis hafal kepadanya.
            “Dasar anak miskin! Miskin!” caci tukang karcis sebelum melayangkan tangan beserta segumpal kekuatan ke tubuh anak kecil itu.   
            Sang anak kecil meronta kesakitan, sedangkan dengan bengisnya sang pemukul tak menghiraukan rontaan anak tersebut. Sampai anak itu kapok, ia baru berhenti, meninggalkan bekas-bekas abadi dan jera terhadap apa yang baru saja terjadi.

ɛɜ

“Mak, ingat waktu dulu Emak marah-marah karena lauk untuk kita makan tiba-tiba hilang?” tanya Widoyo suatu ketika kepada ibunya, Isma, yang sudah sangat tua.
            Makwak, Nyak makwak engok.[1]
            Bohong, terpampang jelas bahwa itu bohong. Widoyo tahu selama ini ibunya menyalahkannya atas apa yang telah terjadi.
            “Sebenarnya waktu itu lauknya saya jual untuk naik satu permainan di pasar malam saat saya kecil. Tapi, besok malamnya saya pulang dengan babak belur. Nyak diguai jegho lamun ago lapah adok pasar malem.[2]
         “Sudahlah.” Isma tak mau berlarut-larut menyalahkan anaknya lagi. Ia sudah meyakinkan dirinya bahwa suaminya meninggal bukan karena Widoyo, tetapi karena ajal memang sudah menjurus kepadanya.
            “Andai saja saya tahu kalau Buya[3] belum mengganjal perut selama dua hari...”
            “Sudah!” tandas Isma tak ingin melanjutkan.
         Ya, Ayah Widoyo memang belum mengganjal perut selama dua hari walaupun waktu itu ada sedikit nasi tersisa. Namun ternyata, Ayah Widoyo sengaja tak memakannya, meninggalkan nasi itu untuk dimakan orang lain, yaitu Widoyo sendiri.

ɛɜ

Widoyo menerima beberapa lembar karcis yang baru ia beli, kemudian lembaran karcis itu diberikan kepada anaknya, Tira. Dengan kaki yang cekatan, Tira melepas genggaman tangan ayahnya dan pergi menghampiri dua anak yang ingin ia bantu. Senyuman anak malang itu mengembang dan langsung menerima sodoran Tira.
            Tira kembali kepada Widoyo.
            “Sudah dikasih semua, Nak?”
            “Sudah, semua, Yah. Tapi tadi Tira hitung banyak sekali. Ada sepuluh kayaknya.”
            Tentu saja, agar anak kecil itu tak merasakan apa yang Widoyo rasakan dahulu. “Tira, malam ini kita langsung pulang ke Jakarta, ya. Kita ajak nyanyik[4] tinggal sama kita.”


 


[1] Tidak, saya tak ingat.
[2] Saya dibuat kapok jika ingin pergi ke pasar malam.
[3] Bapak.
[4] Nenek.



2015
 Dibuat Untuk Tugas B.Indonesia

4 komentar:

  1. Balasan
    1. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca:)

      Hapus
  2. Kalau boleh tanya, apa ada temen satu kelas Zahra yang karangan tugas cerpen Bahasa Indonesianya mampu menyajikan gaya penulisan yang lebih bagus dari karya Zahra diatas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf baru dibalas:)
      Bukannya saya sombong, tapi saya rasa nggak ada kak. Teman satu kelas saya nggak terlalu minat dengan tulis-menulis. Ide mereka bagus-bagus, tapi gaya bahasa dan EYD masih perlu diperbaiki. Mungkin, kalau satu sekolah ada kak.

      Hapus