Keramaian penuh sesak, permainan
hiburan yang terus melaju ketika yang ingin dihibur menaiki, lesehan
orang-orang berjualan, semua itu tampak hina di mata Widoyo. Teriakan-teriakan
rayuan gombal para penjual membuat matanya mendelik, sedangkan suara motor gestrek memekakkan telinga hingga terasa
ingin menangkupkan sepasang tangan di kedua telinganya itu. Ia kesumat! ia
benci pasar malam.
Lebih
dari sekali Widoyo bersumpah serapah dalam hati. Jika saja bukan karena anaknya
yang mengajak ke tempat ini, ia tak akan sudi menginjakkan kaki di tanah yang
dipakai untuk bermain sepak bola dan disulap menjadi tempat hiburan dalam satu
malam. Mendengar namanya saja sudah membuat imajinasi Widoyo memburuk.
“Nak,
Tira, kita pulang saja, ya? Kalau kita pulang ke Jakarta, kita bisa naik
hiburan yang lebih bagus dari tempat ini,” bujuk Widoyo kepada Tira.
Tira
langsung menjawab, “Nggak mau, Yah. Tira mau lihat hiburan versi pedalaman.”
Ah..
ini membuat Widoyo semakin muak. Berkunjung ke
sebuah Kabupaten di Lampung dan bertepatan dengan diadakannya pasar
malam. Pasar malam ini layaknya tumpukan ayam mati. Menjijikan.
“Ayah..
Ayah,” panggil Tira seraya mengayunkan tangan Widoyo yang menggenggamnya. “Minta uang.”
“Untuk
apa, Nak?”
“Untuk
beli karcis.”
“Memangnya
Tira mau naik permainan yang mana?” Widoyo mulai gelisah. “Kita lihat-lihat
saja, ya. Jangan menaiki permainan-permainan di sini. Komidi putar, bianglala,
semua permainan itu lebih seru di Jakarta.”
“Ayah,
Tira beli karcis bukan untuk Tira sendiri, tapi untuk anak-anak itu.” Tira
menunjuk ke suatu arah. Widoyo mengikuti arah tangan Tira dan melihat seorang
anak laki dan anak perempuan sedang di hadang sang penarik karcis. Wajah mereka
menunjukkan keantusiasan, namun dalam sekejap berganti kesedihan setelah
kebahagiaan menjarak dari mereka.
Widoyo
tertegun. Sepasang matanya berganti-gantian menatap anak kesayangannya dan
kedua anak malang itu.
Anaknya
saja, yang duduk di bangku akhir sekolah dasar, sudah memiliki rasa simpati
bagi orang di bawahnya. Bagaimana dengan dua puluh dua tahun silam, saat
seorang anak kecil berumur delapan tahun berdiri layaknya orang bodoh.
Pakaiannya lusuh—baju sudah menggelosor karena terlalu sering dipakai,
sedangkan celana telah terdapat banyak tambalan. Anak kecil itu berjalan dari
satu permainan ke permainan lainnya. Dari komidi putar, ia turut bahagia
melihat permainan itu tampak asyik ketika dinaiki oleh orang-orang. Namun dalam
hatinya, seperti ada yang menggedor-gedor saat ia sadar ia tak bisa menaiki
permainan itu. Berlanjut ke kereta-keretaan, bianglala, tong setan, kemudian
kembali ke komidi putar lagi. Semuanya hanya ia lihat. Hanya dilihat saja.
Sebenarnya
ia juga ingin merasakan kesan menaiki permainan
yang serupa dengan sangkar burung, bianglala. Merasakan angin yang
menggesek kulitnya ketika permainan berlangsung, kemudian memperoleh
pemandangan dari pucuk teratas.
Namun,
sudah jelas, bukan, masalahnya? Bahwa anak itu tidak punya uang sedikit pun
untuk membeli karcis.
Keesokan
harinya, sang anak kecil memberanikan diri untuk menyelinap di salah satu
penumpang saat akan menaiki salah satu permainan. Namun, rencana nodanya
terbaca oleh tukang penarik karcis. Ia ditarik dan dipaksa untuk meninggalkan
permainan sebelum membawa karcis yang harusnya ia beli. Tak jadilah ia
menikmati salah satu permainan di pasar malam.
Anak kecil
itu tak kehilangan akal. Keesokan harinya lagi, ia mencoba mencari akal agar
bisa menaiki salah satu permainan yang ada di pasar malam. Dan ia mencari uang
dengan membantu tetangganya bekerja, lalu diberi upah sejumlah uang. Tetapi,
upah itu masih saja tidak cukup untuk menaiki satu permainan. Akhirnya, sebuah
ide terlintas di pikirannya: menjual satu mie dan seplastik kecil beras kepada
tetangga. Saat langit menggelap, bahagialah anak kecil itu, tak sabar untuk
menaiki permainan yang tersedia. Ia mengenakan baju yang agak bagus, walaupun
sedikit, walaupun jika dibandingkan dengan anak miskin lainnya masih tak
sepadan.
Dan malam
itu, mungkin malam terbahagia untuknya.
ɛɜ
Uang habis, kebahagiaan sesaat pun
langis. Angan-angan merdu mengenai malam sebelumnya kembali menagih. Sang anak
kecil mencoba kembali cara kotornya dengan menyelip di antara penumpang
lainnya. Namun, kembali ketahuan. Ia mencoba lagi di permainan lainnya, dan
kembali ketahuan. Begitu seterusnya, hingga sang penarik karcis hafal
kepadanya.
“Dasar
anak miskin! Miskin!” caci tukang karcis sebelum melayangkan tangan beserta
segumpal kekuatan ke tubuh anak kecil itu.
Sang
anak kecil meronta kesakitan, sedangkan dengan bengisnya sang pemukul tak
menghiraukan rontaan anak tersebut. Sampai anak itu kapok, ia baru berhenti,
meninggalkan bekas-bekas abadi dan jera terhadap apa yang baru saja terjadi.
ɛɜ
“Mak, ingat waktu dulu Emak
marah-marah karena lauk untuk kita makan tiba-tiba hilang?” tanya Widoyo suatu
ketika kepada ibunya, Isma, yang sudah sangat tua.
“Makwak, Nyak makwak engok.[1]”
Bohong,
terpampang jelas bahwa itu bohong. Widoyo tahu selama ini ibunya menyalahkannya
atas apa yang telah terjadi.
“Sebenarnya
waktu itu lauknya saya jual untuk naik satu permainan di pasar malam saat saya
kecil. Tapi, besok malamnya saya pulang dengan babak belur. Nyak diguai jegho lamun ago lapah adok pasar
malem.[2]”
“Sudahlah.”
Isma tak mau berlarut-larut menyalahkan anaknya lagi. Ia sudah meyakinkan
dirinya bahwa suaminya meninggal bukan karena Widoyo, tetapi karena ajal memang
sudah menjurus kepadanya.
“Andai
saja saya tahu kalau Buya[3]
belum mengganjal perut selama dua hari...”
“Sudah!”
tandas Isma tak ingin melanjutkan.
Ya, Ayah Widoyo memang belum
mengganjal perut selama dua hari walaupun waktu itu ada sedikit nasi tersisa.
Namun ternyata, Ayah Widoyo sengaja tak memakannya, meninggalkan nasi itu untuk
dimakan orang lain, yaitu Widoyo sendiri.
ɛɜ
Widoyo menerima beberapa lembar
karcis yang baru ia beli, kemudian lembaran karcis itu diberikan kepada
anaknya, Tira. Dengan kaki yang cekatan, Tira melepas genggaman tangan ayahnya
dan pergi menghampiri dua anak yang ingin ia bantu. Senyuman anak malang itu
mengembang dan langsung menerima sodoran Tira.
Tira
kembali kepada Widoyo.
“Sudah
dikasih semua, Nak?”
“Sudah,
semua, Yah. Tapi tadi Tira hitung banyak sekali. Ada sepuluh kayaknya.”
Tentu
saja, agar anak kecil itu tak merasakan apa yang Widoyo rasakan dahulu. “Tira,
malam ini kita langsung pulang ke Jakarta, ya. Kita ajak nyanyik[4] tinggal sama
kita.”
Keren cerpennya
BalasHapusTerima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca:)
HapusKalau boleh tanya, apa ada temen satu kelas Zahra yang karangan tugas cerpen Bahasa Indonesianya mampu menyajikan gaya penulisan yang lebih bagus dari karya Zahra diatas?
BalasHapusMaaf baru dibalas:)
HapusBukannya saya sombong, tapi saya rasa nggak ada kak. Teman satu kelas saya nggak terlalu minat dengan tulis-menulis. Ide mereka bagus-bagus, tapi gaya bahasa dan EYD masih perlu diperbaiki. Mungkin, kalau satu sekolah ada kak.