Sabtu, 18 April 2015

[CERPEN] 5 Detik Bersamamu

Karya: Hafifah Azahra
Kategori: Remaja



“Hey, Boy!” Aku mengagetkan Zen yang terlihat duduk sambil menatap sesuatu, tetapi tatapannya itu terlihat tanpa tujuan. “Ngelamun aja dari tadi. Mikirin apa sih?”
“Eh, Lovia.” Zen tersadar dari lamunannya. “Nggak, kok. Nggak mikirin apa-apa. Cuma, lagi ada sesuatu yang melintas di pikiran gue.”
Aku melengos. “Yaelah. Itu mah sama aja kalo lo lagi mikir. Gimana, sih?
Zen hanya terkekeh. Aku pun ikut tersenyum.
“Oh, iya. Kan, besok ada acara tuker kado acak, nih, di kelas kita. Kira-kira lo mau ngado apa?” tanyaku pada Zen. Di kelas kami setiap pergantian semester pasti akan mengadakan tukar kado. Namun, kado itu ditukar secara acak. Jadi, kado yang sudah dibungkus tanpa nama atau clue apapun di dalamnya, akan dikumpul ke depan. Anak yang dipanggil bergilir bebas memilih kado yang ada di depan.
“Rahasia, dong. Sesuai perjanjian, nggak boleh ngasih tau clue apa-apa.”
“Ish, lo mah gitu. Kasih tau gue aja. Ya?” Aku membujuknya.
“Nggak lah.” Zen bersikukuh
“Zen, please...”
“Lovia, jangan paksa gue, please!” Ujar Zen. “Gimana kalo kita taruhan aja?”
“Taruhan? Maksud lo?” Aku terheran.
“Kalo misalnya lo dapet hadiah dari gue, gue bakal nurutin satu permintaan lo. Tapi kalo gue yang dapet hadiah punya lo, lo harus turutin satu permintaan gue.”
“Oke,” aku langsung setuju. “Eh, tunggu dulu, tapi permintaannya boleh yang aneh-aneh kan?”
“Aneh-aneh gimana? Nggak-nggak! Gue nggak mau kalo permintaannya itu disuruh nyium lo. Gue nggak mau!”
“Zen! Otak lo dijernihin dulu sana!” Tiba-tiba aku marah. “Yang aneh-aneh itu bukan nyium gue. Tapi gue mau lo bawa gue ngeliat taburan bintang dari atas gedung.” Aku langsung menghentikan ucapanku. Seketika hening begitu saja. Aku sudah kelepasan berbicara.
Zen melirikku dengan jahil. “Ooo.. Jadi permintaannya itu?” Godanya.
“Zen. Gue kelepasan ngomong. Yaudah, gue ganti, deh, permintaannya. Liat aja besok. Gue bakal dapetin hadiah dari lo. Awas aja sampe lo nggak ngaku.”
“Iya, Loviaaa...” Godanya lagi.
“Zen, nanti malem kita jadi ngerjain tugas ppkn kan?”
“Iya, Loviaaa...” Nada bicara Zen masih dibuat-buat.
“Zen gue nanyanya serius, nih.”
“Gue juga jawabnya serius, Loviaaa.”
“ZEN!!!”
***
            Aku menutup bukuku dengan santai. Setelah kurang lebih dua jam mengerjakan tugas pendidikan kewarganegaraan yang terdiri dari beberapa indikator beserta sub-subnya, akhirnya tugas itu selesai juga. Ini juga berkat kelompokku yang bisa diajak kerja-sama.
            “Lovia, gue pulang dulu, ya. Udah malem, nih.” Teman sekelompokku izin pulang. Dan diikuti oleh beberapa teman yang lain.
            “Iya,” jawabku.
            Dan tinggal tersisa aku dan Zen. Aku dan Zen itu sudah bagaikan manusia dan udara. Karena sudah tiga tahun bersama, kita nggak bisa dipisahin.
            “Zen, kira-kira, gue bakal dapet apa ya dari lo besok?” tanyaku, terlebih pada diri sendiri. Dan Zen nggak menjawab pertanyaanku ini. Aku meliriknya dan melihat dia melamun lagi. “ZEN! Lo sering banget sih ngelamun. Sekarang lo ngaku, lo mikirin apa? Yang aneh-aneh, ya?”
            Zen tersadar. “Lovia, otak lo, kok, dipenuhi dengan kata ‘aneh-aneh’, sih? Jernihin dulu sana otak lo.”
            Dia mengcopy kata-kataku! “Zen, kayaknya gue geh yang tadi siang ngomong gitu sama lo,” ujarku. “jadi, sekarang bilang ke gue, lo sekarang lagi mikirin apa?”
            “Mikirin tugas,” jawabnya singkat dan aku yakin itu asal-asalan saja.
            “Tugas udah selesai, Zen.”
            “Ngg..,” ia tak bisa menjawab. Dan matanya terlihat sedang mencari alasan
            “Ngaku!” desakku.
            “Kenapa gue harus kasih tau lo?” tanyanya balik.
            “Karena gue sahabat lo.”
            “Udah, ah. Gue mau balik aja.”
            “Yaelah, liat aja besok.”
            Inilah Zen beberapa akhir-akhir ini. Jika ditanya, dia nggak jawab dan malah mengalihkan pembicaraan. Zen terlihat sering ngelamun waktu sama aku. Aku sendiri nggak tau karena apa.
***
Inilah moment yang kutunggu-tunggu. Ketika bel pulang sudah berbunyi, tetapi kelasku masih lengkap dengan penghuni-penghuninya yang belum meninggalkan sekolah. Kelas kami memang bisa dibilang kelas paling asik karena selalu mengadakan hal-hal yang seru.
            Aku melirik Zen yang bertempat duduk di pojok depan. Dia terlihat asyik tertawa dengan teman-temannya. Syukurlah dia nggak ngelamun lagi.
            Semua kado sudah terkumpul di meja guru. Dan satu per satu nama mulai disebutkan oleh ketua kelas.
            Ketika namaku dipanggil, aku langsung bangkit dan melangkah ke depan dengan bersemangat. Memandang tumpukan kado yang berbungkus sama, yaitu koran. Aku harus memilih yang mana, ya? Yang punya Zen yang mana? Besar, sedang, atau kecil? Pikiranku bergulat sendiri.
Aku pilih yang besar aja, deh. Putusku dalam hati.
Ketika di tanganku sudah terdapat kado yang cukup besar, ada sesuatu yang mengganjal. Ahhh.. yasudah, aku ganti yang berukuran sedang aja.
Dan aku kembali ke tempat dudukku.
Perlahan semuanya telah terpanggil menurut abjad. Tinggal Zen yang belum dipanggil karena namanya berawalan huruf Z. Dan di meja guru tinggal tersisa satu kado. Dengan gesit Zen mengambil kado itu dan memasukkannya ke dalam tas. Aku bahkan nggak bisa lihat seperti apa bentuk kado yang Zen terima
***
“Jadi, lo ngado apa tadi?” tanya Zen padaku. Kami memutuskan bertemu di pinggir lapangan sekolah setelah acara tukar kado selesai.
            “Gue ngado dua patung jerapah,” jawabku. Dari tiga puluh murid di kelas, nggak mungkin Zen dapat hadiah dariku.
            “Dengan leher pendek?”
            Aku mengangguk. Aku memang membungkus kado yang isinya dua patung jerapah dengan leher pendek. Eh, tunggu dulu. Tapi Zen tau itu dari mana?
            “Zen, lo?” aku menatap Zen tak percaya.
            Zen hanya mengangkat bahu dan menunjukan dua patung jerapah di tangannya.
            “Trus, trus, kalo lo ngado apa?”
            “Gue ngado gantungan kunci makanan coklat. Agak besar dan itu gue buat sendiri.”
            “beneran lo ngado itu?” mataku melebar dan alisku terangkat. Semakin tak percaya dengan jawabannya. Ternyata oh ternyata...
            “Iya..”
            “Serius lo ngado itu?” aku memastikan lagi. Masih tak percaya.
            “Lo dapet hadiah dari gue, ya?” tanya Zen.
            Aku menggeleng lemah. Nggak! Aku nggak mendapatkan hadiah itu darinya.
            “Yes! Jadi lo harus nurutin permintaan gue.”
            “Iya-iya.”
            “Yaudah, nanti malem gue jemput lo.”
            “Mau ke mana?”
            “Rahasia. Pokoknya siap-siap aja nanti malem. Oke? Bye..”
***
Aku duduk di kursi kayu. Masih tak percaya Zen mengajakku ke tempat ini. Tempat di mana aku bisa melihat taburan bintang di atas gedung tinggi. Sehingga bintang-bintang di langit terasa semakin dekat denganku.
            “Zen, gue, kan, nggak dapet hadiah dari lo. Kenapa lo bawa gue ke sini?” Aku masih terharu dengan perlakuan Zen. Dia benar-benar sahabt terbaikku.
            “Ini permintaan gue. Bukan permintaan lo,” jawabnya yang juga duduk di sampingku sambil menatap bintang berkelap-kelip.
            “Terimakasih,” kataku.
            Kemudian suasana menjadi hening. Yang terdengar hanya suara kendaraan yang berada di jalanan yang terdengar samar-samar dan suara angin. Dan seketika semua yang ada di sekelilingku menjadi gelap. Tapi hanya bintang yang masih bersinar. Sungguh itu pemandangan yang menakjubkan. Sebab ketika disekelilingku menajdi gelap, bintang malah semakin terang.
            “1..2..3..4..5,” Zen mengucapkan angka satu sampai lima dengan pelan. Dan ketika angka lima selesai ia sebutkan, sekelilingku kembali terang. Hah.. baiklah, 5 detik. Hanya 5 detik tetapi sangat indah karena ada sahabat yang menemaninya di sini.
            “Lovia, gue harus pergi.”
            “Kita baru aja di sini, Zen. Tunggu beberapa waktu lagi, ya.”
            “Lovia, gue mau pergi jauh.”
            Aku langsung mengalihkan pandanganku dari langit. “Maksud kamu?”
            “New York. Gue dan keluarga gue mau pindah ke New York.”
            Suasana semakin hening. Seakan semuanya nggak terdengar dan nggak terasakan. Dan aku hanya menatap wajah Zen tanpa bisa mengatakan apa-apa.
            “Lo nggak papa kan gue tinggal?”
            “Nggak papa gimana. Gue udah bergantung sama lo,” jawabku. Nada bicaraku beda. Kontras terdengar beda. Dan semakin aku ingin berbicara, semakin ingin air mataku untuk keluar. “Jadi, lo sering ngelamun karena ini? Karena lo mau...”pergi
            Zen mengaggukkan kepala. “Maafin gue kalo selama ini gue banyak salah sama lo. Lo kan tau kalo gue itu orang yang suka bercanda. Dan untuk hal ini juga sama.”
            Lo kan tau kalo gue itu orang yang suka bercanda. Dan untuk hal ini juga sama. Aku semakin bingung dengan ucapan itu. Sebenarnya dia akan pergi atau nggak sih?
            Kemudian muncul senyuman jahil di bibir Zen.
“ZEN!!! KENAPA LO SUKA BANGET MAININ GUE SIH?”
            Dan meledaklah tawa Zen. “Hahaha. Maaf, Lovia. Gue Cuma mau mastiin kalo kita ini beneran sahabat atau bukan. Yang jelas gue udah dapet jawabannya dan gue nggak akan pernah ninggalin lo.”

END

3 komentar:

  1. haha aku kira endingnya bakal kaya sinetron yang kedua tokohnya berpisah, trus pas tau kalo bakal berpisah mereka langsung mengungkapkan perasaannya satu sama lain. Ternyata nggak haha bagus bagus

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe, makasih.
      Aku coba anti mainstream untuk buat karya baru:)

      Hapus