Karya: Hafifah Azahra
Kategori: Remaja
“Hey, Boy!” Aku mengagetkan Zen yang
terlihat duduk sambil menatap sesuatu, tetapi tatapannya itu terlihat tanpa
tujuan. “Ngelamun aja dari tadi. Mikirin apa sih?”
“Eh, Lovia.” Zen tersadar dari
lamunannya. “Nggak, kok. Nggak mikirin apa-apa. Cuma, lagi ada sesuatu yang
melintas di pikiran gue.”
Aku melengos. “Yaelah. Itu mah sama aja
kalo lo lagi mikir. Gimana, sih?
Zen hanya terkekeh. Aku pun ikut
tersenyum.
“Oh, iya. Kan, besok ada acara tuker
kado acak, nih, di kelas kita. Kira-kira lo mau ngado apa?” tanyaku pada Zen.
Di kelas kami setiap pergantian semester pasti akan mengadakan tukar kado.
Namun, kado itu ditukar secara acak. Jadi, kado yang sudah dibungkus tanpa nama
atau clue apapun di dalamnya, akan
dikumpul ke depan. Anak yang dipanggil bergilir bebas memilih kado yang ada di
depan.
“Ish, lo mah gitu. Kasih tau gue aja.
Ya?” Aku membujuknya.
“Nggak lah.” Zen bersikukuh
“Zen, please...”
“Lovia, jangan paksa gue, please!” Ujar
Zen. “Gimana kalo kita taruhan aja?”
“Taruhan? Maksud lo?” Aku terheran.
“Kalo misalnya lo dapet hadiah dari gue,
gue bakal nurutin satu permintaan lo. Tapi kalo gue yang dapet hadiah punya lo,
lo harus turutin satu permintaan gue.”
“Oke,” aku langsung setuju. “Eh, tunggu
dulu, tapi permintaannya boleh yang aneh-aneh kan?”
“Aneh-aneh gimana? Nggak-nggak! Gue
nggak mau kalo permintaannya itu disuruh nyium lo. Gue nggak mau!”
“Zen! Otak lo dijernihin dulu sana!” Tiba-tiba
aku marah. “Yang aneh-aneh itu bukan nyium gue. Tapi gue mau lo bawa gue
ngeliat taburan bintang dari atas gedung.” Aku langsung menghentikan ucapanku.
Seketika hening begitu saja. Aku sudah kelepasan berbicara.
Zen melirikku dengan jahil. “Ooo.. Jadi
permintaannya itu?” Godanya.
“Zen. Gue kelepasan ngomong. Yaudah,
gue ganti, deh, permintaannya. Liat aja besok. Gue bakal dapetin hadiah dari
lo. Awas aja sampe lo nggak ngaku.”
“Iya, Loviaaa...” Godanya lagi.
“Zen, nanti malem kita jadi ngerjain
tugas ppkn kan?”
“Iya, Loviaaa...” Nada bicara Zen masih
dibuat-buat.
“Zen gue nanyanya serius, nih.”
“Gue juga jawabnya serius, Loviaaa.”
“ZEN!!!”
***
Aku
menutup bukuku dengan santai. Setelah kurang lebih dua jam mengerjakan tugas
pendidikan kewarganegaraan yang terdiri dari beberapa indikator beserta
sub-subnya, akhirnya tugas itu selesai juga. Ini juga berkat kelompokku yang
bisa diajak kerja-sama.
“Lovia,
gue pulang dulu, ya. Udah malem, nih.” Teman sekelompokku izin pulang. Dan
diikuti oleh beberapa teman yang lain.
“Iya,”
jawabku.
Dan
tinggal tersisa aku dan Zen. Aku dan Zen itu sudah bagaikan manusia dan udara.
Karena sudah tiga tahun bersama, kita nggak bisa dipisahin.
“Zen,
kira-kira, gue bakal dapet apa ya dari lo besok?” tanyaku, terlebih pada diri
sendiri. Dan Zen nggak menjawab pertanyaanku ini. Aku meliriknya dan melihat
dia melamun lagi. “ZEN! Lo sering banget sih ngelamun. Sekarang lo ngaku, lo
mikirin apa? Yang aneh-aneh, ya?”
Zen
tersadar. “Lovia, otak lo, kok, dipenuhi dengan kata ‘aneh-aneh’, sih? Jernihin
dulu sana otak lo.”
Dia
mengcopy kata-kataku! “Zen, kayaknya gue geh yang tadi siang ngomong gitu sama
lo,” ujarku. “jadi, sekarang bilang ke gue, lo sekarang lagi mikirin apa?”
“Mikirin
tugas,” jawabnya singkat dan aku yakin itu asal-asalan saja.
“Tugas
udah selesai, Zen.”
“Ngg..,”
ia tak bisa menjawab. Dan matanya terlihat sedang mencari alasan
“Ngaku!”
desakku.
“Kenapa
gue harus kasih tau lo?” tanyanya balik.
“Karena
gue sahabat lo.”
“Udah,
ah. Gue mau balik aja.”
“Yaelah,
liat aja besok.”
Inilah
Zen beberapa akhir-akhir ini. Jika ditanya, dia nggak jawab dan malah
mengalihkan pembicaraan. Zen terlihat sering ngelamun waktu sama aku. Aku
sendiri nggak tau karena apa.
***
Inilah moment yang kutunggu-tunggu.
Ketika bel pulang sudah berbunyi, tetapi kelasku masih lengkap dengan
penghuni-penghuninya yang belum meninggalkan sekolah. Kelas kami memang bisa
dibilang kelas paling asik karena selalu mengadakan hal-hal yang seru.
Aku
melirik Zen yang bertempat duduk di pojok depan. Dia terlihat asyik tertawa dengan
teman-temannya. Syukurlah dia nggak ngelamun lagi.
Semua
kado sudah terkumpul di meja guru. Dan satu per satu nama mulai disebutkan oleh
ketua kelas.
Ketika
namaku dipanggil, aku langsung bangkit dan melangkah ke depan dengan
bersemangat. Memandang tumpukan kado yang berbungkus sama, yaitu koran. Aku
harus memilih yang mana, ya? Yang punya Zen yang mana? Besar, sedang, atau
kecil? Pikiranku bergulat sendiri.
Aku pilih yang besar aja, deh. Putusku
dalam hati.
Ketika di tanganku sudah terdapat kado
yang cukup besar, ada sesuatu yang mengganjal. Ahhh.. yasudah, aku ganti yang
berukuran sedang aja.
Dan aku kembali ke tempat dudukku.
Perlahan semuanya telah terpanggil
menurut abjad. Tinggal Zen yang belum dipanggil karena namanya berawalan huruf
Z. Dan di meja guru tinggal tersisa satu kado. Dengan gesit Zen mengambil kado
itu dan memasukkannya ke dalam tas. Aku bahkan nggak bisa lihat seperti apa
bentuk kado yang Zen terima
***
“Jadi, lo ngado apa tadi?” tanya Zen
padaku. Kami memutuskan bertemu di pinggir lapangan sekolah setelah acara tukar
kado selesai.
“Gue
ngado dua patung jerapah,” jawabku. Dari tiga puluh murid di kelas, nggak
mungkin Zen dapat hadiah dariku.
“Dengan
leher pendek?”
Aku
mengangguk. Aku memang membungkus kado yang isinya dua patung jerapah dengan
leher pendek. Eh, tunggu dulu. Tapi Zen tau itu dari mana?
“Zen,
lo?” aku menatap Zen tak percaya.
Zen
hanya mengangkat bahu dan menunjukan dua patung jerapah di tangannya.
“Trus,
trus, kalo lo ngado apa?”
“Gue
ngado gantungan kunci makanan coklat. Agak besar dan itu gue buat sendiri.”
“beneran
lo ngado itu?” mataku melebar dan alisku terangkat. Semakin tak percaya dengan
jawabannya. Ternyata oh ternyata...
“Iya..”
“Serius
lo ngado itu?” aku memastikan lagi. Masih tak percaya.
“Lo
dapet hadiah dari gue, ya?” tanya Zen.
Aku
menggeleng lemah. Nggak! Aku nggak mendapatkan hadiah itu darinya.
“Yes!
Jadi lo harus nurutin permintaan gue.”
“Iya-iya.”
“Yaudah,
nanti malem gue jemput lo.”
“Mau
ke mana?”
“Rahasia.
Pokoknya siap-siap aja nanti malem. Oke? Bye..”
***
Aku duduk di kursi kayu. Masih tak
percaya Zen mengajakku ke tempat ini. Tempat di mana aku bisa melihat taburan
bintang di atas gedung tinggi. Sehingga bintang-bintang di langit terasa
semakin dekat denganku.
“Zen,
gue, kan, nggak dapet hadiah dari lo. Kenapa lo bawa gue ke sini?” Aku masih
terharu dengan perlakuan Zen. Dia benar-benar sahabt terbaikku.
“Ini
permintaan gue. Bukan permintaan lo,” jawabnya yang juga duduk di sampingku
sambil menatap bintang berkelap-kelip.
“Terimakasih,”
kataku.
Kemudian
suasana menjadi hening. Yang terdengar hanya suara kendaraan yang berada di
jalanan yang terdengar samar-samar dan suara angin. Dan seketika semua yang ada
di sekelilingku menjadi gelap. Tapi hanya bintang yang masih bersinar. Sungguh
itu pemandangan yang menakjubkan. Sebab ketika disekelilingku menajdi gelap,
bintang malah semakin terang.
“1..2..3..4..5,”
Zen mengucapkan angka satu sampai lima dengan pelan. Dan ketika angka lima
selesai ia sebutkan, sekelilingku kembali terang. Hah.. baiklah, 5 detik. Hanya
5 detik tetapi sangat indah karena ada sahabat yang menemaninya di sini.
“Lovia,
gue harus pergi.”
“Kita
baru aja di sini, Zen. Tunggu beberapa waktu lagi, ya.”
“Lovia,
gue mau pergi jauh.”
Aku
langsung mengalihkan pandanganku dari langit. “Maksud kamu?”
“New
York. Gue dan keluarga gue mau pindah ke New York.”
Suasana
semakin hening. Seakan semuanya nggak terdengar dan nggak terasakan. Dan aku
hanya menatap wajah Zen tanpa bisa mengatakan apa-apa.
“Lo
nggak papa kan gue tinggal?”
“Nggak
papa gimana. Gue udah bergantung sama lo,” jawabku. Nada bicaraku beda. Kontras
terdengar beda. Dan semakin aku ingin berbicara, semakin ingin air mataku untuk
keluar. “Jadi, lo sering ngelamun karena ini? Karena lo mau...”pergi
Zen
mengaggukkan kepala. “Maafin gue kalo selama ini gue banyak salah sama lo. Lo
kan tau kalo gue itu orang yang suka bercanda. Dan untuk hal ini juga sama.”
Lo kan tau kalo gue itu orang yang suka
bercanda. Dan untuk hal ini juga sama. Aku semakin bingung dengan ucapan
itu. Sebenarnya dia akan pergi atau nggak sih?
Kemudian
muncul senyuman jahil di bibir Zen.
“ZEN!!! KENAPA LO SUKA BANGET MAININ
GUE SIH?”
Dan
meledaklah tawa Zen. “Hahaha. Maaf, Lovia. Gue Cuma mau mastiin kalo kita ini
beneran sahabat atau bukan. Yang jelas gue udah dapet jawabannya dan gue nggak
akan pernah ninggalin lo.”
Ceritanya lucu :)
BalasHapushaha aku kira endingnya bakal kaya sinetron yang kedua tokohnya berpisah, trus pas tau kalo bakal berpisah mereka langsung mengungkapkan perasaannya satu sama lain. Ternyata nggak haha bagus bagus
BalasHapusHehe, makasih.
HapusAku coba anti mainstream untuk buat karya baru:)