Review
Novel Happily Ever After
Editor: Jia Effendie
Penyelaras Aksara: Widyawati Oktavia
Penata letak: Gina Ramayudha
Penyelaras tata letak: Erina Puspitasari
Desainer sampul: Jeffri Fernando
ISBN : 9789797807703
9797807702
Penerbit : GagasMedia
Harga: Rp 57.000
Tak ada yang kekal di dunia ini.Namun, perempuan itu percaya,
kenangannya, akan tetap hidup dan ia akan terus melangkah ke depan
dengan berani.
Ini adalah kisah tentang orang favoritku di dunia.
Dia yang penuh tawa. Dia yang tangannya sekasar serat kayu, tetapi
memiliki sentuhan sehangat sinar matahari. Dia yang merupakan perpaduan
aroma sengatan matahari dan embun pagi. Dia yang mengenalkanku pada
dongeng-dongen sebelum tidur setiap malam. Dia yang akhirnya membuatku
tersadar, tidak semua dongeng berakhir bahagia.
Ini juga kisah aku dengan anak lelaki yang bermain tetris di bawah
ranjang. Dia yang ke mana-mana membawa kamera polaroid, menangkap tawa
di antara kesedihan yang muram. Dia yang terpaksa melepaskan mimpinya,
tetapi masih berani untuk memiliki harapan ...
Keduanya menyadarkanku bahwa hidup adalah sebuah hak yang istimewa.
Bahwa kita perlu menjalaninya sebaik mungkin meski harapan hampir padam.
Tidak semua dongeng berakhir bahagia. Namun, barangkali kita memang
harus cukup berani memilih; bagaimana akhir yang kita inginkan. Dan,
percaya bahwa akhir bahagia memang ada meskipun tidak seperti yang kita
duga.
Lucia Surya, atau Lulu mempunyai hidup
yang bahagia bersama keluarga sederhananya. Tetapi di sekolah, ia dimusuhi
sahabat lamanya, Karin. Dan Karin pula mengambil pacar Lulu
Di suatu kala, kebahagiaan sederhana
yang Lulu punya seakan lenyap karena orang yang paling ia sayangi, ayahnya,
sakit keras.Lulu sering mengantar ayahnya ke rumah sakit,hingga ia bertemu
dengan Eli di kamar rumah sakit yang tidak dikunci. Eli pun sakit keras. Sudah
berbulan-bulan ia keluar masuk rumah sakit.
Semenjak itu keduanya dekat, saling
menguatkan harapan masing-masing.
***
Salah satu novel incaran saya, Happily
Ever After, akhirnya saya baca juga. Tadinya, saya tidak tahu bahwa novel ini
ternyata tentang keluarga. Namun tetap saya baca karena saya penasaran dengan
karyanya kak Winna Efendi.
Saya suka penuturan kata dalam novel
ini. Terasa lembut dan lambat. Apalagi memakai sudut pandang orang pertama.
Jadi, lebih tahu apa yang dirasakan sang tokoh utama, Lulu. Pun covernya
eye-catching sekali.
Saya kagum dengan pendeskripsian latar
oleh kak Winna Efendi. Sangat mendetail. Seolah-olah memang benar ada di sana.
Mungkin saya perlu banyak membaca lagi agar bisa menulis seperti kak Winna.
Cerita dalam novel ini mengalir hangat.
Juga mungkin kekhasannya kak Winna memberi quotes pada awal cerita. Remember
When pun begitu.
Kata orang, mimpi adalah cermin dari keinginan, atau bahkan pertanda. Tapi, aku selalu percaya mimpi adalah kenangan masa lalu yang melekat kuat dalam ingatan. –hal 11
Saya berpikir, apa jadinya jika saya
menjadi Lulu. Ketika mengetahui orang yang paling disayangi sedang sakit keras
dan hidupnya tidak akan lama lagi. Juga hubungan pertemanan Lulu dengan Karin hancur
bersamaan dengan Karin mengambil pacar Lulu.
Karin terdeskripsikan sebagai antagonis.
Selalu menjahati Lulu. Tapi di belakang itu semua, ternyata Karinlah yang
terlebih dahulu tersakiti. Saya, sih, berharap Karin dan Ezra putus, sedangkan
Karin dan Lulu baikan. Tapi..
“Di
dunia ini, nggak semua orang dapetin apa yang mereka mau, Mi,” –hal 140
Tapi saya cukup puas melihat endingnya.
Saya juga suka pengakhir dongeng yang berbunyi: AND SO, THEY LIVE HAPPILY EVER
AFTER. Hehehe
Yang suka dengan novel keluarga,
persahabatan, dan percintaan remaja, sila di baca.. Novelnya cukup membuat air
mata keluar. Apalagi saya dengar kabar dari kak Winna, novel ini akan dibuat
filmnya pada tahun 2016. Yeah!! Nggak sabar buat nonton dan menikmati pasangan
Lulu dan Eli.
“Iya. And they live happily ever after. Setiap dongeng kan berakhir begitu. kesannya gampang, tapi di dunia nyata memangnya ada yang kayak begitu?” –hal 7
“... Lagi pula, kenapa takut kalah kalau kamu mungkin akan menang?” –hal 18
Detik ini selamanya berhenti, dan aku sadar, ungkapan kebahagiaan selama-lamanya adalah omong kosong belaka. –hal 61
Kurasa, pada dasarnya, memang tak ada yang pasti dalam kehidupan ini; bukan kebahagiaan, bukan stabilitas, bukan kesehatan, bukan cinta, bahkan bukan persahabatan. –hal 143
Stars: 4/5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar