Kamis, 17 Maret 2016

[CERPEN] Remind Me

 Kami berpandangan dalam beberapa detik. Kemudian ia memutuskan kontak mata di antara kami, dan masuk ke dalam rumahnya. Rumah Arin masih sama. Halaman depan yang penuh dengan berbagai macam jenis bunga, hanya saja dindingnya sudah berubah warna menjadi cat biru muda.
Aku bernafas berat, dan melanjutkan perjalanan menuju rumahku yang jaraknya tak jauh lagi. Arin tumbuh dengan sangat baik setelah sepuluh tahun kami terakhir bertemu. Rambut hitam mulusnya tergerai dan wajahnya terlihat bersinar tanpa ada kotoran apapun, semacam jerawat. Dan dia tak mengenalku, terlihat dari ekspresi tak acuhnya selepas melihatku beberapa menit yang lalu. Aku benci ini! Sungguh. Aku benci ketika aku mengenal seseorang, tetapi orang itu tidak mengenalku setelah beberapa lama tak bertemu. Termasuk dalam kasus Arin, teman semasa kecilku.
Aku merasa jengkel, merasa tak dipedulikan.
Aku akui, Arin benar-benar menjadi gadis sekarang. Di umurnya yang kira-kira setara denganku, 16 tahun, Arin terlihat sudah dewasa. Tubuhnya memang tak setinggi tubuhku, namun wajahnya sangat cantik. Hidungnya bertulang panjang, lurus, berbentuk greek. Dan kalau tidak salah lihat, pipi Arin tampak bulan dan ada rona merah di sana. Ah.. siapa yang peduli dengan tinggi badan seseorang jika ia sangat cantik?
Pasti keturunan dari mamanya.
Bukan keturunan dari gen, tetapi keturunan dari sifat mamanya yang suka bersolek ria, mempercantik diri, dan merawat wajah. Sedangkan aku? Yang ada di otakku hanyalah tentang pelajaran sekolah. Tetapi, entah mengapa sekarang aku agak minder setelah melihat Arin.
Memasuki rumah, terpancar hawa yang sepi. Kehidupan tak tertanda. Kecuali ibuku yang berkutat di dapur. Aku melewati lemari di ruang tengah. Lemari itu sudah sangat tua, terlihat dari kayu yang terkikis dimakan rayap. Langkahku terhenti, terpaku pada album foto yang telah usang. Aku membuka kavernya dan langsung terpampang fotoku dan foto Arin duduk berdua sewaktu bayi. Ibu bilang, kami belum bisa duduk waktu itu, jadi terlihat dua pasang tangan yang yang membantu kami duduk berdampingan.
Mungkin, Arin memang sudah tak mengenalku lagi.

***

“Fina, mau?” Sani menawarkan roti di wadah makanan yang ia bawa kepadaku.
Aku mendongak untuk melihat apa yang disodorkan Sani. Kemudian aku tersenyum sambil menggeleng pelan. “Kamu selalu nawarin orang makanan, padahal kamu sendiri masih lapar.”
Sani meringis dan menarik lagi wadah makanannya. “Nanti aku dikira pelit,” gerutunya.
“Oh, jadi kamu ngasih orang bukan karena keikhlasan?” Mataku memicing ke arah Sani.
Sani merasa salah bicara. “Ya bukan gitu juga, sih, Fin.”
Aku tersenyum lagi. “Iya, iya. Aku tahu kok,” ucap Fina pengertian. Sani pun menghela napas lega. “Lain kali, kalau makan jangan di depan banyak orang. Nanti kalau nggak nawarin, kamu dikira pelit,” lanjutku lagi.
Sani tidak jadi bernapas lega. Ia langsung mendelikkan matanya kepadaku. “FINA!”
Aku tertawa lebar. Merasa geli melihat sahabatku ini berhasil kuguraui.
“San, aku mau tanya, seandainya kamu ketemu sama teman lama kamu dan dia nggak kenal sama kamu, perasaan kamu gimana?”
“Biasa aja,” jawab Sani datar. “Eh, itu daftar nama apa?” Ia melihat daftar nama di secarik keras milikku.
Biasa saja? Mungkin Sani nggak mengerti ini. “Oh, ini nama teman-temanku di masa lalu. Dari enam daftar ini, empat dari mereka sudah lupa sama aku. Mereka nggak ingat sama sekali.”
Sani mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi sekarang kamu sedih? Jangan sedih dong. Sebentar lagi kan kita liburan semester. Waktunya menjernihkan otak kamu. Jangan lagi mikirin hal yang bikin sedih.”
Aku membalik kertas yang berisi daftar nama teman-teman lamaku dan menumpuknya dengan buku lain. “Ah, nevermind.”

 ***

Yola. Itulah nama yang dicoret sebelum Arin. Seingatku, Yola adalah teman TK-ku. Saat istirahat, kami sering bermain bersama. Bermain kucing-kucingan sambil menyanyikan lagu cing-kucingan anak kucing jadi patung, batman dan robi minum anggur cap kucing. Selanjutnya, aku lulus lebih awal dari TK, dan dia memang harus menempuh satu tahun lagi.
Ketika aku kelas 2 SD, ternyata Yola masuk ke sekolah yang sama denganku. Saat aku memandangnya dan tersenyum padanya, dia terlihat tak mengenalku, sama sekali. Aku ingin meyakinkannya bahwa kita pernah berteman, pernah bermain bersama, dan dia pernah membuatku menangis. Tapi, entah kenapa aku membiarkannya tak mengenalku hingga kami masuk SMA yang berbeda.
Sekarang, masih ada dua nama lagi. Satu nama cowok dan satu nama cewek. Aku sangsi jika ingin bertemu dengan mereka. Aku takut diriku kembali terlupakan. Itu berarti aku memang bukanla hseseorang yang patut untuk diingat, setidaknya sebagai teman.

***

Liburan akhir semester, aku memilih berlibur ke rumah nenek. Ya, ke rumah nenek. Terdengar klise, memang. Tapi tempat ternyamanku menjelang liburan adalah rumah nenek.
            Pernah ada seorang teman yang bertanya padaku, “Fina, liburan ke mana?”
            “Ke rumah nenek,” jawabku riang.
            “Ha? Ke rumah nenek? Kayak cerita-cerita zaman dulu aja sih ‘berlibur ke rumah nenek’.” Ia tertawa seperti mengejek, namun aku tetap tersenyum. “Sekali-sekali jawabnya ke tempat wisata, kek.”
            Terserahlah. Semua orang, kan, punya tempat tujuan masing-masing.
            Dan di sinilah aku berada. Sore ini aku berjalan-jalan di sekitar rumah nenekku. Di dekat sana, ada sebuah lapangan sepak bola. Langkah kakiku membawaku ke sana. Aku berhenti di pinggiran dan melihat orang-orang yang bermain sepak bola telah usai.
            Aku melihat seseorang yang jaraknya tak jauh dariku. Cowok itu penuh dengan peluh yang mengaliri pelipis dan dahinya. Dia berwajah putih. Dia adalah Yoga, salah seorang teman yang nama belum tercoret dari daftar nama teman lamaku. Aku menghampirinya.
            “Yoga, ya?” tanyaku kepadanya yang sedang melepaskan sepatu bolanya.
            Yoga mendongak, tersirat ekspresi heran di wajahnya. “Iya,” sahutnya. “Siapa, ya?”
            Aku tersenyum. Bukan tersenyum bahagia, pastinya.
Apakah aku terlalu banyak berubah sehingga semua teman masa laluku tak mengenaliku?
            “Fina,” kataku singkat.
            Dahinya berkerut menampakkan segitiga samar di atas hidung. Dia sedang berpikir.
            Oh, ayolah.. sewaktu kecil bahkan kami bermain gelembung bersama. Masa dia tidak ingat sama sekali, sih?
            “Nggak tau, ya?” Dia terlalu lama berpikir, jadi aku menegurnya.
            “Fina..” ia bergumam. Tak lama kemudian alisnya terangkat dan ia berkata, “Ohh, Fina, ya?”
            Secercah harapan muncul seketika di diriku. Aku mengangguk mantap sambil tersenyum lebar.
            “Teman SD-ku, kan? Alfina Putri?” ia memastikan. “Sudah lama ya kita nggak ketemu. Kamu juga sudah berubah banget. Jadi kurusan.”
            “Hah?” Seketika senyumku menghilang bersamaan dengan kekecewaan yang baru saja tercipta. Aku tidak pernah satu sekolah dasar dengannya. Nama lengkapku adalah Lutfina Azahra. Dan aku memang dari dulu bertubuh kurus.
            Aku langsung membalikkan badan dan melenggang menjauhi Yoga.
            Sekali lagi kukatakan, aku benci mengenali orang yang tak mengenaliku juga. Mereka tak tahu perasaanku. Karena ketika aku melihat wajah mereka, kenangan antara aku dan mereka mengalir begitu saja di otakku. Masih terasa segar, walau sudah bertahun-tahun terlewatkan.

***

Liburan di rumah nenek hanya kuhabiskan dalam waktu tiga hari saja. Pun tiga hari itu aku sudah merasa bosan sekali. Sekarang rumah nenek bukan lagi tempat ternyaman untukku berlibur.
            Sore ini aku akan pulang ke rumahku. Dan sesampainya aku di rumah, aku langsung menemui Fina untuk menceritakan apa yang kulalui kemarin-kemarin.
            “Nama Yoga kamu coret? Berarti..”
            Aku mengagguk. “Dua hari yang lalu, di lapangan sepak bola. Dia nggak kenal aku sama sekali.” Tahu-tahu kulit mataku terasa panas dan bergetar.
Aku memejamkan mata. Mengingat kembali bagaimana semua teman-temannya telah melupakannya. Dindin, Bulan, Yola, Arin, Yoga. Cukup menyakitkan karena mereka pernah punya masa kecil yang mengasyikan bersamaku. Dan mereka semua melupakannya.
Kemudian aku merasakan sentuhan di bahuku. Namun sentuhan itu tak kugubris. Aku malah membatu dengan mata terpejam.
“Fina,” panggil Sani lembut.
Sani.. ya, Sani. Sani sudah terlupakan olehku ketika aku fokus kepada semua teman-teman lamaku. Aku membuka mata dan setitik air mata jatuh dari situ.
          “Fin, lupain mereka, oke? Lupain teman-teman lama kamu yang memang sudah nggak kenal lagi sama kamu. Kamu nggak perlu capek-capek ngingetin mereka tentang masa kecil kalian. Yang terpenting itu masa sekarang. Sekarang ada aku.”
            Aku langsung memeluk erat Sani. Ternyata ia lebih berharga daripada teman masa kecilku yang telah melupakanku.

2 komentar: