Kami berpandangan dalam beberapa detik.
Kemudian ia memutuskan kontak mata di antara kami, dan masuk ke dalam rumahnya.
Rumah Arin masih sama. Halaman depan yang penuh dengan berbagai macam jenis
bunga, hanya saja dindingnya sudah berubah warna menjadi cat biru muda.
Aku bernafas berat, dan melanjutkan
perjalanan menuju rumahku yang jaraknya tak jauh lagi. Arin tumbuh dengan
sangat baik setelah sepuluh tahun kami terakhir bertemu. Rambut hitam mulusnya
tergerai dan wajahnya terlihat bersinar tanpa ada kotoran apapun, semacam
jerawat. Dan dia tak mengenalku, terlihat dari ekspresi tak acuhnya selepas
melihatku beberapa menit yang lalu. Aku benci ini! Sungguh. Aku benci ketika
aku mengenal seseorang, tetapi orang itu tidak mengenalku setelah beberapa lama
tak bertemu. Termasuk dalam kasus Arin, teman semasa kecilku.
Aku merasa jengkel, merasa tak
dipedulikan.
Aku akui, Arin benar-benar menjadi gadis
sekarang. Di umurnya yang kira-kira setara denganku, 16 tahun, Arin terlihat
sudah dewasa. Tubuhnya memang tak setinggi tubuhku, namun wajahnya sangat
cantik. Hidungnya bertulang panjang, lurus, berbentuk greek. Dan kalau tidak
salah lihat, pipi Arin tampak bulan dan ada rona merah di sana. Ah.. siapa yang
peduli dengan tinggi badan seseorang jika ia sangat cantik?
Pasti keturunan dari mamanya.
Bukan keturunan dari gen, tetapi
keturunan dari sifat mamanya yang suka bersolek ria, mempercantik diri, dan
merawat wajah. Sedangkan aku? Yang ada di otakku hanyalah tentang pelajaran
sekolah. Tetapi, entah mengapa sekarang aku agak minder setelah melihat Arin.
Memasuki rumah, terpancar hawa yang
sepi. Kehidupan tak tertanda. Kecuali ibuku yang berkutat di dapur. Aku
melewati lemari di ruang tengah. Lemari itu sudah sangat tua, terlihat dari
kayu yang terkikis dimakan rayap. Langkahku terhenti, terpaku pada album foto yang telah usang. Aku membuka
kavernya dan langsung terpampang fotoku dan foto Arin duduk berdua sewaktu
bayi. Ibu bilang, kami belum bisa duduk waktu itu, jadi terlihat dua pasang
tangan yang yang membantu kami duduk berdampingan.
Mungkin, Arin memang sudah tak
mengenalku lagi.
***
“Fina, mau?” Sani menawarkan roti di
wadah makanan yang ia bawa kepadaku.
Aku mendongak untuk melihat apa yang
disodorkan Sani. Kemudian aku tersenyum sambil menggeleng pelan. “Kamu selalu
nawarin orang makanan, padahal kamu sendiri masih lapar.”
Sani meringis dan menarik lagi wadah
makanannya. “Nanti aku dikira pelit,” gerutunya.
“Oh, jadi kamu ngasih orang bukan karena
keikhlasan?” Mataku memicing ke arah Sani.
Sani merasa salah bicara. “Ya bukan gitu
juga, sih, Fin.”
Aku tersenyum lagi. “Iya, iya. Aku tahu
kok,” ucap Fina pengertian. Sani pun menghela napas lega. “Lain kali, kalau
makan jangan di depan banyak orang. Nanti kalau nggak nawarin, kamu dikira
pelit,” lanjutku lagi.
Sani tidak jadi bernapas lega. Ia
langsung mendelikkan matanya kepadaku. “FINA!”
Aku tertawa lebar. Merasa geli melihat
sahabatku ini berhasil kuguraui.
“San, aku mau tanya, seandainya kamu
ketemu sama teman lama kamu dan dia nggak kenal sama kamu, perasaan kamu
gimana?”
“Biasa aja,” jawab Sani datar. “Eh, itu
daftar nama apa?” Ia melihat daftar nama di secarik keras milikku.
Biasa saja? Mungkin Sani nggak mengerti
ini. “Oh, ini nama teman-temanku di masa lalu. Dari enam daftar ini, empat dari
mereka sudah lupa sama aku. Mereka nggak ingat sama sekali.”
Sani mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi sekarang kamu sedih? Jangan sedih dong. Sebentar lagi kan kita liburan
semester. Waktunya menjernihkan otak kamu. Jangan lagi mikirin hal yang bikin
sedih.”
Aku membalik kertas yang berisi daftar
nama teman-teman lamaku dan menumpuknya dengan buku lain. “Ah, nevermind.”
***
Yola. Itulah nama yang dicoret sebelum
Arin. Seingatku, Yola adalah teman TK-ku. Saat istirahat, kami sering bermain
bersama. Bermain kucing-kucingan sambil menyanyikan lagu cing-kucingan anak kucing jadi patung, batman dan robi minum anggur cap
kucing. Selanjutnya, aku lulus lebih awal dari TK, dan dia memang harus
menempuh satu tahun lagi.
Ketika aku kelas 2 SD, ternyata Yola
masuk ke sekolah yang sama denganku. Saat aku memandangnya dan tersenyum
padanya, dia terlihat tak mengenalku, sama sekali. Aku ingin meyakinkannya
bahwa kita pernah berteman, pernah bermain bersama, dan dia pernah membuatku
menangis. Tapi, entah kenapa aku membiarkannya tak mengenalku hingga kami masuk
SMA yang berbeda.
Sekarang, masih ada dua nama lagi. Satu
nama cowok dan satu nama cewek. Aku sangsi jika ingin bertemu dengan mereka.
Aku takut diriku kembali terlupakan. Itu berarti aku memang bukanla hseseorang
yang patut untuk diingat, setidaknya sebagai teman.
***
Liburan akhir semester, aku memilih berlibur ke
rumah nenek. Ya, ke rumah nenek. Terdengar klise, memang. Tapi tempat
ternyamanku menjelang liburan adalah rumah nenek.
Pernah
ada seorang teman yang bertanya padaku, “Fina, liburan ke mana?”
“Ke
rumah nenek,” jawabku riang.
“Ha?
Ke rumah nenek? Kayak cerita-cerita zaman dulu aja sih ‘berlibur ke rumah
nenek’.” Ia tertawa seperti mengejek, namun aku tetap tersenyum. “Sekali-sekali
jawabnya ke tempat wisata, kek.”
Terserahlah.
Semua orang, kan, punya tempat tujuan masing-masing.
Dan
di sinilah aku berada. Sore ini aku berjalan-jalan di sekitar rumah nenekku. Di
dekat sana, ada sebuah lapangan sepak bola. Langkah kakiku membawaku ke sana.
Aku berhenti di pinggiran dan melihat orang-orang yang bermain sepak bola telah
usai.
Aku
melihat seseorang yang jaraknya tak jauh dariku. Cowok itu penuh dengan peluh
yang mengaliri pelipis dan dahinya. Dia berwajah putih. Dia adalah Yoga, salah
seorang teman yang nama belum tercoret dari daftar nama teman lamaku. Aku
menghampirinya.
“Yoga,
ya?” tanyaku kepadanya yang sedang melepaskan sepatu bolanya.
Yoga
mendongak, tersirat ekspresi heran di wajahnya. “Iya,” sahutnya. “Siapa, ya?”
Aku
tersenyum. Bukan tersenyum bahagia, pastinya.
Apakah aku terlalu banyak berubah
sehingga semua teman masa laluku tak mengenaliku?
“Fina,”
kataku singkat.
Dahinya
berkerut menampakkan segitiga samar di atas hidung. Dia sedang berpikir.
Oh,
ayolah.. sewaktu kecil bahkan kami bermain gelembung bersama. Masa dia tidak
ingat sama sekali, sih?
“Nggak
tau, ya?” Dia terlalu lama berpikir, jadi aku menegurnya.
“Fina..”
ia bergumam. Tak lama kemudian alisnya terangkat dan ia berkata, “Ohh, Fina,
ya?”
Secercah
harapan muncul seketika di diriku. Aku mengangguk mantap sambil tersenyum
lebar.
“Teman
SD-ku, kan? Alfina Putri?” ia memastikan. “Sudah lama ya kita nggak ketemu.
Kamu juga sudah berubah banget. Jadi kurusan.”
“Hah?”
Seketika senyumku menghilang bersamaan dengan kekecewaan yang baru saja
tercipta. Aku tidak pernah satu sekolah dasar dengannya. Nama lengkapku adalah
Lutfina Azahra. Dan aku memang dari dulu bertubuh kurus.
Aku
langsung membalikkan badan dan melenggang menjauhi Yoga.
Sekali
lagi kukatakan, aku benci mengenali orang yang tak mengenaliku juga. Mereka tak
tahu perasaanku. Karena ketika aku melihat wajah mereka, kenangan antara aku
dan mereka mengalir begitu saja di otakku. Masih terasa segar, walau sudah
bertahun-tahun terlewatkan.
***
Liburan di rumah nenek hanya kuhabiskan dalam waktu
tiga hari saja. Pun tiga hari itu aku sudah merasa bosan sekali. Sekarang rumah
nenek bukan lagi tempat ternyaman untukku berlibur.
Sore
ini aku akan pulang ke rumahku. Dan sesampainya aku di rumah, aku langsung
menemui Fina untuk menceritakan apa yang kulalui kemarin-kemarin.
“Nama
Yoga kamu coret? Berarti..”
Aku
mengagguk. “Dua hari yang lalu, di lapangan sepak bola. Dia nggak kenal aku
sama sekali.” Tahu-tahu kulit mataku terasa panas dan bergetar.
Aku memejamkan mata. Mengingat kembali
bagaimana semua teman-temannya telah melupakannya. Dindin, Bulan, Yola, Arin,
Yoga. Cukup menyakitkan karena mereka pernah punya masa kecil yang mengasyikan
bersamaku. Dan mereka semua melupakannya.
Kemudian aku merasakan sentuhan di
bahuku. Namun sentuhan itu tak kugubris. Aku malah membatu dengan mata
terpejam.
“Fina,” panggil Sani lembut.
Sani.. ya, Sani. Sani sudah terlupakan
olehku ketika aku fokus kepada semua teman-teman lamaku. Aku membuka mata dan
setitik air mata jatuh dari situ.
“Fin,
lupain mereka, oke? Lupain teman-teman lama kamu yang memang sudah nggak kenal
lagi sama kamu. Kamu nggak perlu capek-capek ngingetin mereka tentang masa
kecil kalian. Yang terpenting itu masa sekarang. Sekarang ada aku.”
Aku
langsung memeluk erat Sani. Ternyata ia lebih berharga daripada teman masa
kecilku yang telah melupakanku.
Bagus!
BalasHapusTerima kasih sudah baca cerpenku:))
Hapus