1.
“Hati-hati
ya kalau bicara tentang kakak. Kalau bisa jangan di sekitar kakak. Karena kakak
tahu.”
Aku
masih mengingat jelas kalimat yang terbebas dari bibirnya, Igo, senior satu
tingkat di atasku. Itu adalah kalimat terakhir yang kudengar setelah pertemuan
kami dua minggu lalu. Setelah itu, kami tak pernah saling berhadapan muka lagi,
terlebih karena kesibukan dan luasnya area sekolah membuat Dewi Fortuna jarang mempertemukan kami
berdua.
Walaupun
begitu, hatiku tak pernah tidur. Masih ada sesuatu yang terbangun di dalam
dadaku ini. Ia terbangun karena Igo. Entah sejak kapan, aku tak tahu. Seperti
kutu di kepala, ia kuketahui setelah kutu itu membesar dan membuat kepalaku tak
nyaman. Aku pun tak nyaman dengan perasaan yang membuat resah ini.
Aku
tak pernah mengacuhkan kalimat yang ia sampaikan tempo hari. Aku menganggap itu
hanya omong kosong belaka. Mana ada orang yang tahu bahwa dirinya sedang
dibicarakan orang lain?
Sering
sekali aku membicarakan tentang Igo kepada temanku. Satu orang saja, mungkin.
Tidak.. dua, atau tiga. Entahlah. Sudah berapa banyak orang yang kuceritakan
mengenai perasaanku pada Igo. Yang terpenting, aku tahu, teman-temanku itu bisa
menjaga rahasia meskipun tak menutup kemungkinan fakta mengenaiku bisa bocor
begitu saja dari mulut mereka.
Beberapa
informasi yang kudapatkan mengenai Igo pun malah semakin menjamakkan perasaan
yang kurasakan. Sejak itulah aku sadar bahwa aku sudah jatuh hati kepadanya,
seniorku.
***
Setelah tiga minggu, akhirnya kami
bertemu kembali. Bukan acara khusus untuk kami berdua, memang. Tetapi acara
yang diadakan komunitas yang kami ikuti. Acaranya sungguh sederhana, hanya
makan malam bersama kemudian sharing jika ada masalah.
Malam
itu, Igo agak terlambat datang. Ia mencari kursi yang kosong karena hampir
seluruh kursi telah ditempati. Dan oh! Ia duduk di sampingku. Awal yang baik
itu kuanggap sebagai moodbosterku malam ini.
Aku
dan dia mengobrol sangat cutik[1]
sekali. Dan segala hal yang mungkin ia lakukan terhadap semua wanita, terasa
sangat istimewa bagi diriku. Begitulah perangai manusia yang jatuh cinta.
Terlalu menjujung tinggi perasaan, bukankah begitu?
“Oh,
iya, Resa, golongan darahmu apa?” tanyanya di penghujung acara, ketika semua
telah pergi, kecuali aku dan dia.
“Mungkin
O atau B, aku tak tahu.” Aku tak pernah memeriksakan golongan darah. “Kenapa
tanya begitu?”
Ia
tak kunjung menjawab.
“Kenapa?”
tanyaku lagi.
“Itu
rahasia,” jawabnya seraya tersenyum. Setelah itu, kami pergi ke rumah
masing-masing.
Rahasia
memang rahasia. Namun, jika rahasia itu mengenai diriku, bukankah aku berhak
tahu?
Sepanjang
perjalanan, aku hanya bisa menebak-nebak apakah rahasia itu. Segala kemungkinan
terlintas di benakku. Entah itu adalah awal dari perasaanku yang dibalasnya,
atau itu hanya pertanyaan biasa, atau ada seseorang yang penasaran dengan
golongan darahku dan menanyakannya melalui Igo.
Yang
jelas hanya satu, aku semakin menyukainya.
***
Lagi-lagi aku membicarakan tentangnya
dengan dua temanku.
“Jadi
kau benar-benar menyukainya,” ucap temanku akhirnya.“Tetapi, kemarin aku dengar
dia sudah berpacaran dengan orang lain.”
Temanku
yang lain menyikut yang baru saja berbicara. Dan ia pun langsung mengatupkan
bibirnya.
Setelah
itu, aku mencari-cari kebenaran. Dan betul saja. Ia sudah berpacaran dengan
orang lain. Sejak saat itulah aku mulai melupakannya, walaupun tak segampang ketika
aku meyukainya.
***
2.
Kini jarang sekali kumendengar namaku
disebut-sebut oleh pemilik suara lembut yang kutahu ia menyukaiku.
Dari
mana kutahu itu? Dari temanku? Tidak. Dari temannya? Tidak.
Sebelumnya,
aku banyak mendengar bahwa diriku sering diceritakan kepada teman-temannya.
Sesekali dengan berbisik, sesekali dengan nada datar, atau berkali-kali dengan
pekikan nada girang ketika ia mendapat berita bagus mengenaiku.
Semua
itu terdengar jelas.
Namun
sekarang, ia jarang menyebut namaku, bercerita tentangku kepada temannya. Tentu
saja ada sesuatu yang terasa hilang, terasa hampa. Karena diriku, Igo, tak lagi
disukai oleh Resa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar