Sabtu, 16 Januari 2016

[CERPEN] Telinga Gajah yang Merindu



1.
“Hati-hati ya kalau bicara tentang kakak. Kalau bisa jangan di sekitar kakak. Karena kakak tahu.”
            Aku masih mengingat jelas kalimat yang terbebas dari bibirnya, Igo, senior satu tingkat di atasku. Itu adalah kalimat terakhir yang kudengar setelah pertemuan kami dua minggu lalu. Setelah itu, kami tak pernah saling berhadapan muka lagi, terlebih karena kesibukan dan luasnya area sekolah membuat Dewi Fortuna jarang mempertemukan kami berdua.
            Walaupun begitu, hatiku tak pernah tidur. Masih ada sesuatu yang terbangun di dalam dadaku ini. Ia terbangun karena Igo. Entah sejak kapan, aku tak tahu. Seperti kutu di kepala, ia kuketahui setelah kutu itu membesar dan membuat kepalaku tak nyaman. Aku pun tak nyaman dengan perasaan yang membuat resah ini.

            Aku tak pernah mengacuhkan kalimat yang ia sampaikan tempo hari. Aku menganggap itu hanya omong kosong belaka. Mana ada orang yang tahu bahwa dirinya sedang dibicarakan orang lain?
            Sering sekali aku membicarakan tentang Igo kepada temanku. Satu orang saja, mungkin. Tidak.. dua, atau tiga. Entahlah. Sudah berapa banyak orang yang kuceritakan mengenai perasaanku pada Igo. Yang terpenting, aku tahu, teman-temanku itu bisa menjaga rahasia meskipun tak menutup kemungkinan fakta mengenaiku bisa bocor begitu saja dari mulut mereka.
            Beberapa informasi yang kudapatkan mengenai Igo pun malah semakin menjamakkan perasaan yang kurasakan. Sejak itulah aku sadar bahwa aku sudah jatuh hati kepadanya, seniorku.
***
Setelah tiga minggu, akhirnya kami bertemu kembali. Bukan acara khusus untuk kami berdua, memang. Tetapi acara yang diadakan komunitas yang kami ikuti. Acaranya sungguh sederhana, hanya makan malam bersama kemudian sharing jika ada masalah.
            Malam itu, Igo agak terlambat datang. Ia mencari kursi yang kosong karena hampir seluruh kursi telah ditempati. Dan oh! Ia duduk di sampingku. Awal yang baik itu kuanggap sebagai moodbosterku malam ini.
            Aku dan dia mengobrol sangat cutik[1] sekali. Dan segala hal yang mungkin ia lakukan terhadap semua wanita, terasa sangat istimewa bagi diriku. Begitulah perangai manusia yang jatuh cinta. Terlalu menjujung tinggi perasaan, bukankah begitu?
            “Oh, iya, Resa, golongan darahmu apa?” tanyanya di penghujung acara, ketika semua telah pergi, kecuali aku dan dia.
            “Mungkin O atau B, aku tak tahu.” Aku tak pernah memeriksakan golongan darah. “Kenapa tanya begitu?”
            Ia tak kunjung menjawab.
            “Kenapa?” tanyaku lagi.
            “Itu rahasia,” jawabnya seraya tersenyum. Setelah itu, kami pergi ke rumah masing-masing.
            Rahasia memang rahasia. Namun, jika rahasia itu mengenai diriku, bukankah aku berhak tahu?
            Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menebak-nebak apakah rahasia itu. Segala kemungkinan terlintas di benakku. Entah itu adalah awal dari perasaanku yang dibalasnya, atau itu hanya pertanyaan biasa, atau ada seseorang yang penasaran dengan golongan darahku dan menanyakannya melalui Igo.
            Yang jelas hanya satu, aku semakin menyukainya.
***
Lagi-lagi aku membicarakan tentangnya dengan dua temanku.
            “Jadi kau benar-benar menyukainya,” ucap temanku akhirnya.“Tetapi, kemarin aku dengar dia sudah berpacaran dengan orang lain.”
            Temanku yang lain menyikut yang baru saja berbicara. Dan ia pun langsung mengatupkan bibirnya.
            Setelah itu, aku mencari-cari kebenaran. Dan betul saja. Ia sudah berpacaran dengan orang lain. Sejak saat itulah aku mulai melupakannya, walaupun tak segampang ketika aku meyukainya.
***
2.
Kini jarang sekali kumendengar namaku disebut-sebut oleh pemilik suara lembut yang kutahu ia menyukaiku.
            Dari mana kutahu itu? Dari temanku? Tidak. Dari temannya? Tidak.
            Sebelumnya, aku banyak mendengar bahwa diriku sering diceritakan kepada teman-temannya. Sesekali dengan berbisik, sesekali dengan nada datar, atau berkali-kali dengan pekikan nada girang ketika ia mendapat berita bagus mengenaiku.
            Semua itu terdengar jelas.
            Namun sekarang, ia jarang menyebut namaku, bercerita tentangku kepada temannya. Tentu saja ada sesuatu yang terasa hilang, terasa hampa. Karena diriku, Igo, tak lagi disukai oleh Resa.
            Dan kini aku merindunya.. Sangat.


[1] Sedikit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar